Kamis, 07 November 2013

hari pahlawan

ERINGATAN 10 NOVEMBER
Jangan Politisasi Gelar Pahlawan


Jumat, 8 Nopember 2013
JAKARTA (Suara Karya): Mantan aktivis Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) Hariman Siregar menilai, penilaian sebagai pahlawan itu seharusnya timbul dari perasaan. Oleh karena itu, pemberian gelar pahlawan nasional oleh pemerintah hendaknya tidak dipolitisasi dan harus fair sehingga tidak ada unsur politiknya.
"Sosok pahlawan itu memang sangat dibutuhkan. Tetapi, penilaiannya hanyalah waktu, jangan sampai ini dipolitisasi," kata Hariman saat diskusi "Siapkah Kita Jadi Pahlawan?, di Jakarta, Kamis (7/11).
Menurut dia, seorang pahlawan sudah sepatutnya menjadi contoh bagi orang lain. Predikat yang dimilikinya sudah pasti tidak mudah didapatkan. Melalui perjuangan yang tidak pernah pudar, mereka menginginkan agar kehidupan orang banyak lebih baik lagi.
Beberapa waktu lalu, Indonesia sempat dihebohkan dengan permintaan agar mantan Presiden Soeharto diberi gelar pahlawan nasional.
Tidak hanya beliau, beberapa pemimpin negeri ini pun banyak yang mengajukan kepada pemerintah untuk dijadikan pahlawan. "Pahlawan itu kita butuhkan, apapun definisi itu pahlawan itu sesuai perasaan kita," ujarnya .
Ketika ditanya apakah dirinya setuju terhadap pemberian predikat pahlawan kepada setiap mantan pemimpin negara, menurutnya, penilaiannya jangan subyektif. "Tunggu waktu yang tepat," katanya.
Rencannya menyambut hari pahlawan yang jatuh pada 10 November ini, pemerintah melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menetapkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada tiga tokoh pada 2013.
Ketiga tokoh itu adalah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat dari Yogyakarta, Lambertus Nicodemus Palar dari Sulawesi Utara dan Letjen TNI (Purn) TB Simatupang dari Sumatera Utara.
Ketiga tokoh ini akan ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pahlawan nasional dari delapan usulan calon pahlawan.
Hingga saat ini pemerintah sudah menetapkan 156 pahlawan nasional dengan 32 di antaranya dari kalangan TNI dan Polri. Kepada setiap pahlawan nasional, pemerintah memberikan tunjangan sebesar Rp 1,5 juta setiap bulan dan bantuan kesehatan Rp 3 juta setiap tahun bagi ahli waris.
Di bagian lain, Hariman juga mengatakan bahwa Indonesia dinilai sulit mengalami kemajuan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Bangsa ini, katanya, masih dianggap bermental tempe walau sudah 68 tahun merdeka. "Indonesia bukanlah negara yang menang. Sejak dahulu merupakan negara yang sejarahnya kalah," katanya.
Dia lalu membandingkan dengan Vietnam yang jelas memperjuangkan kemerdekaan negaranya. "Sejarah Indonesia adalah sejarah yang kalah, tidak seperti Vietnam yang benar-benar menang," katanya.
Pendidikan
Mengenai pendidikan di Indonesia, dia menganggap, belum ada kepedulian yang besar terhadap sejarah. Sebenarnya hal ini, tambah dia, merupakan dasar untuk mengubah kemajuan Indonesia.
Kegundahan tersebut juga dirasakan oleh Kepala Program Studi Filsafat Universitas Paramadina Aan Rukmana. Dia menilai, mentalitas Indonesia harus segera dibenahi agar bangsa ini bisa berubah.
Sebagai dosen, dirinya juga sepaham mengenai pendidikan yang menjadi dasar perubahan Indonesia. Menurutnya, melalui pendidikan Indonesia akan lebih baik. "Bagaimana agar kita lebih baik ke depannya? Kita perlu memperbaiki pendidikan kita," ujar Aan. (Rully)

Politik |  Hukum |  Ekonomi |  Metropolitan |  Nusantara |  Internasional |  Hiburan |  Humor |  Opini |  About Us

Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i

0 komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya

Sample text

Sample text

hari pahlawan

ERINGATAN 10 NOVEMBER
Jangan Politisasi Gelar Pahlawan


Jumat, 8 Nopember 2013
JAKARTA (Suara Karya): Mantan aktivis Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) Hariman Siregar menilai, penilaian sebagai pahlawan itu seharusnya timbul dari perasaan. Oleh karena itu, pemberian gelar pahlawan nasional oleh pemerintah hendaknya tidak dipolitisasi dan harus fair sehingga tidak ada unsur politiknya.
"Sosok pahlawan itu memang sangat dibutuhkan. Tetapi, penilaiannya hanyalah waktu, jangan sampai ini dipolitisasi," kata Hariman saat diskusi "Siapkah Kita Jadi Pahlawan?, di Jakarta, Kamis (7/11).
Menurut dia, seorang pahlawan sudah sepatutnya menjadi contoh bagi orang lain. Predikat yang dimilikinya sudah pasti tidak mudah didapatkan. Melalui perjuangan yang tidak pernah pudar, mereka menginginkan agar kehidupan orang banyak lebih baik lagi.
Beberapa waktu lalu, Indonesia sempat dihebohkan dengan permintaan agar mantan Presiden Soeharto diberi gelar pahlawan nasional.
Tidak hanya beliau, beberapa pemimpin negeri ini pun banyak yang mengajukan kepada pemerintah untuk dijadikan pahlawan. "Pahlawan itu kita butuhkan, apapun definisi itu pahlawan itu sesuai perasaan kita," ujarnya .
Ketika ditanya apakah dirinya setuju terhadap pemberian predikat pahlawan kepada setiap mantan pemimpin negara, menurutnya, penilaiannya jangan subyektif. "Tunggu waktu yang tepat," katanya.
Rencannya menyambut hari pahlawan yang jatuh pada 10 November ini, pemerintah melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menetapkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada tiga tokoh pada 2013.
Ketiga tokoh itu adalah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat dari Yogyakarta, Lambertus Nicodemus Palar dari Sulawesi Utara dan Letjen TNI (Purn) TB Simatupang dari Sumatera Utara.
Ketiga tokoh ini akan ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pahlawan nasional dari delapan usulan calon pahlawan.
Hingga saat ini pemerintah sudah menetapkan 156 pahlawan nasional dengan 32 di antaranya dari kalangan TNI dan Polri. Kepada setiap pahlawan nasional, pemerintah memberikan tunjangan sebesar Rp 1,5 juta setiap bulan dan bantuan kesehatan Rp 3 juta setiap tahun bagi ahli waris.
Di bagian lain, Hariman juga mengatakan bahwa Indonesia dinilai sulit mengalami kemajuan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Bangsa ini, katanya, masih dianggap bermental tempe walau sudah 68 tahun merdeka. "Indonesia bukanlah negara yang menang. Sejak dahulu merupakan negara yang sejarahnya kalah," katanya.
Dia lalu membandingkan dengan Vietnam yang jelas memperjuangkan kemerdekaan negaranya. "Sejarah Indonesia adalah sejarah yang kalah, tidak seperti Vietnam yang benar-benar menang," katanya.
Pendidikan
Mengenai pendidikan di Indonesia, dia menganggap, belum ada kepedulian yang besar terhadap sejarah. Sebenarnya hal ini, tambah dia, merupakan dasar untuk mengubah kemajuan Indonesia.
Kegundahan tersebut juga dirasakan oleh Kepala Program Studi Filsafat Universitas Paramadina Aan Rukmana. Dia menilai, mentalitas Indonesia harus segera dibenahi agar bangsa ini bisa berubah.
Sebagai dosen, dirinya juga sepaham mengenai pendidikan yang menjadi dasar perubahan Indonesia. Menurutnya, melalui pendidikan Indonesia akan lebih baik. "Bagaimana agar kita lebih baik ke depannya? Kita perlu memperbaiki pendidikan kita," ujar Aan. (Rully)

Politik |  Hukum |  Ekonomi |  Metropolitan |  Nusantara |  Internasional |  Hiburan |  Humor |  Opini |  About Us

Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar

Labels

Labels

Time

sodikun

Powered By Blogger

World Clock

time

Ads 468x60px

About Me

Followers

Featured Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogger templates

SODIKUN NAXZCROM

Recent Templates

SODIKUN. Diberdayakan oleh Blogger.

Social Icons