Materi Limbah
Limbah adalah
buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun
domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai
jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water). [1]
Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah,
yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki
nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari
bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi
dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif
terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu
dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang
ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Pengolahan limbah
Beberapa
faktor yang memengaruhi kualitas limbah adalah volume limbah, kandungan
bahan pencemar, dan frekuensi pembuangan limbah. Untuk mengatasi limbah
ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada dasarnya
pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:
1. pengolahan menurut tingkatan perlakuan
2. pengolahan menurut karakteristik limbah
Untuk
mengatasi berbagai limbah dan air limpasan (hujan), maka suatu kawasan
permukiman membutuhkan berbagai jenis layanan sanitasi. Layanan sanitasi
ini tidak dapat selalu diartikan sebagai bentuk jasa layanan yang
disediakan pihak lain. Ada juga layanan sanitasi yang harus disediakan
sendiri oleh masyarakat, khususnya pemilik atau penghuni rumah, seperti jambanmisalnya. [1]
2. Jamban
yang layak harus memiliki akses air besrsih yang cukup dan tersambung
ke unit penanganan air kakus yang benar. Apabila jamban pribadi tidak
ada, maka masyarakat perlu memiliki akses ke jamban bersama atau MCK.[1]
3. Layanan
persampahan. Layanan ini diawali dengan pewadahan sampah dan
pengumpulan sampah. Pengumpulan dilakukan dengan menggunakan gerobak
atau truk sampah. Layanan sampah juga harus dilengkapi dengan tempat pembuangan sementara (TPS), tempat pembuangan akhir (TPA),
atau fasilitas pengolahan sampah lainnya. Dibeberapa wilayah pemukiman,
layanan untuk mengatasi sampah dikembangkan secara kolektif oleh
masyarakat. Beberapa ada yang melakukan upaya kolektif lebih lanjut
dengan memasukkan upaya pengkomposan dan pengumpulan bahan layak
daur-ulang.[1]
4. Layanan drainase lingkungan adalah penanganan limpasan air hujan menggunakan saluran drainase (selokan)
yang akan menampung limpasan air tersebut dan mengalirkannya ke badan
air penerima. Dimensi saluran drainase harus cukup besar agar dapat
menampung limpasan air hujan dari wilayah yang dilayaninya. Saluran
drainase harus memiliki kemiringan yang cukup dan terbebas dari sampah.[1]
5. Penyediaan
air bersih dalam sebuah pemukiman perlu tersedia secara berkelanjutan
dalam jumlah yang cukup. Air bersih ini tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan makan, minum, mandi, dan kakus saja, melainkan juga untuk
kebutuhan cuci dan pembersihan lingkungan.[1]
Karakteristik limbah
1. Berukuran mikro
2. Dinamis
3. Berdampak luas (penyebarannya)
4. Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Limbah industri
Berdasarkan karakteristiknya limbah industri dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Limbah cair biasanya dikenal sebagai entitas pencemar air. Komponen pencemaran air pada umumnya terdiri dari bahan buangan padat, bahan buangan organik dan bahan buangan anorganik
2. Limbah padat
Proses
Pencemaran Udara Semua spesies kimia yang dimasukkan atau masuk ke
atmosfer yang “bersih” disebut kontaminan. Kontaminan pada konsentrasi
yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek negatif terhadap penerima
(receptor), bila ini terjadi, kontaminan disebut cemaran
(pollutant).Cemaran udara diklasifihasikan menjadi 2 kategori menurut
cara cemaran masuk atau dimasukkan ke atmosfer yaitu: cemaran primer dan
cemaran sekunder. Cemaran primer adalah cemaran yang diemisikan secara
langsung dari sumber cemaran. Cemaran sekunder adalah cemaran yang
terbentuk oleh proses kimia di atmosfer.
Sumber
cemaran dari aktivitas manusia (antropogenik) adalah setiap kendaraan
bermotor, fasilitas, pabrik, instalasi atau aktivitas yang mengemisikan
cemaran udara primer ke atmosfer. Ada 2 kategori sumber antropogenik
yaitu: sumber tetap (stationery source) seperti: pembangkit energi
listrik dengan bakar fosil, pabrik, rumah tangga,jasa, dan lain-lain dan
sumber bergerak (mobile source) seperti: truk,bus, pesawat terbang, dan
kereta api.
Lima cemaran primer yang secara total memberikan sumbangan lebih dari 90% pencemaran udara global adalah:
a. Karbon monoksida (CO),
b. Nitrogen oksida (Nox),
c. Hidrokarbon (HC),
d. Sulfur oksida (SOx)
e. Partikulat.
b. Nitrogen oksida (Nox),
c. Hidrokarbon (HC),
d. Sulfur oksida (SOx)
e. Partikulat.
Selain
cemaran primer terdapat cemaran sekunder yaitu cemaran yang memberikan
dampak sekunder terhadap komponen lingkungan ataupun cemaran yang
dihasilkan akibat transformasi cemaran primer menjadi bentuk cemaran
yang berbeda. Ada beberapa cemaran sekunder yang dapat mengakibatkan
dampak penting baik lokal,regional maupun global yaitu:
a. CO2 (karbon monoksida),
b. Cemaran asbut (asap kabut) atau smog (smoke fog),
c. Hujan asam,
d. CFC (Chloro-Fluoro-Carbon/Freon),
e. CH4 (metana).
b. Cemaran asbut (asap kabut) atau smog (smoke fog),
c. Hujan asam,
d. CFC (Chloro-Fluoro-Carbon/Freon),
e. CH4 (metana).
Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Secara
umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu
kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, industri,
pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas
dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang
bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Limbah B3).
Suatu
limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya
atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak
langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau
membahayakan kesehatan manusia.Yang termasuk limbah B3 antara lain
adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi
karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal
yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini
termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih karakteristik
berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun,
menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji
dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3
Macam Limbah Beracun
§ Limbah mudah meledak adalah
limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu dan
tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
§ Limbah mudah terbakar adalah
limbah yang bila berdekatan dengan api, percikan api, gesekan atau
sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah
menyala akan terus terbakar hebat dalam waktu lama.
§ Limbah reaktif adalah
limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau menerima
oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu
tinggi.
§ Limbah beracun adalah
limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan
lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk
ke dalam tubuh melalui pernapasan, kulit atau mulut.
§ Limbah penyebab infeksi adalah
limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit atau limbah yang
mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi
dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi.
§ Limbah yang bersifat korosif adalah
limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit atau mengkorosikan baja,
yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0 untuk limbah yang bersifat
asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
Pengelolaan Limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan
penimbunan limbah B3. Pengelolaan Limbah B3 ini bertujuan untuk
mencegah, menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, memulihkan kualitas lingkungan tercemar, dan meningkatan kemampuan dan fungsi kualitas lingkungan
Catatan kaki
1. Bergerak
Bersama Dengan Strategi Sanitasi Kota. Diterbitkan oleh Tim Teknis
Pembangunan Sanitasi: BAPPENAS, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen
Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian, Departemen
Keuangan, dan Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Hal 3
Tahun 1995 Tentang : Tata Cara Dan Persyaratan Teknis Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Oleh: KEPALA BAPEDAL Nomor: 1 TAHUN 1995.
Menurut UU.No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain
Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
Pengertian (Konsep) dan Ruang Lingkup Daya Dukung Lingkungan Menurut UU no 23/ 1997, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Menurut Soemarwoto (2001), dayadukung lingkungan pada hakekatnya adalah daya dukung lingkungan
alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat
dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah itu.
Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan
hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan
(supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative
capacity).
Sedangkan
menurut Lenzen (2003), kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat
dinyatakan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Luas area untuk mendukungkehidupan
manusia ini disebut jejak ekologi (ecological footprint). Lenzen juga
menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumber daya alam
dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia kemudian dibandingkan dengan
luas aktual lahan produktif. Perbandingan antara jejak ekologi dengan
luas aktual lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai perbandingan
antara lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan. Carrying capacity atau daya dukunglingkungan
mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan
mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan
dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan
organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu
kawasan.
Definisi Daya Dukung Lingkungan/ Carrying Capacity :
§ Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang dapat didukung oleh suatu lingkungan
§ Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut
§ Jumlah
makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam periode
jangka panjang tampa membahayakan lingkungan tersebut
§ Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut
§ Rata-rata
kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok
manusia dibawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan diatas angka
yang diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan sumber daya.
Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah
lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh jenis makanan, tempat
tinggal, dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal
tersebut
Permasalahan
mengenai lingkungan yang kerap ditemui dalam kaitannya dengan bidang
penataan ruang antara lain dapat ditemukan dalam contoh kasus sebagai
berikut:
1. Alih
fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian seperti
industri, permukiman, prasarana umum, dan lain sebagainya. Secara
keseluruhan, alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya(pertanian, industri, permukiman, dan sebagainya) mencapai 50.000 ha/ tahun.
2. Penurunan
secara signifikan luas hutan tropis sebagai kawasan resapan air.
Pengurangan ini terjadi baik akibat kebakaran maupun akibat penjarahan/
penggundulan. Apabila tidak diambil langkah-langkah tepat maka kerusakan
hutan akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu-hilir,
meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir,
mengganggu siklus hidrologis, dan memperluas kelangkaan air bersih dalam
jangka panjang.
3. Meningkatnya
satuan wilayah sungai (SWS) yang kritis. Pada tahun 1984, tercatat dari
total 89 SWS yang ada di Indonesia, 22 SWS berada dalam kondisi kritis.
Kondisi ini terus memburuk dimana pada tahun 1992 jumlah SWS yang
kritis meningkat menjadi 39 SWS dan pada tahun 1998 membengkak menjadi
59 SWS.
Kebijakan
nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan
diundangkannya Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 [UU 26/2007]. Kebijakan
tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang
semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun
diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum
memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan
ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat
mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/ 2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/ 2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Definisi KLHS
Definisi KLHS yang secara umum dirujuk oleh sebagian besar pengguna KLHS adalah sebagai berikut:
“Suatu
proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak
lingkungan, pertimbangan sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan
dari usulan kebijakan, rencana, atau program pembangunan.”
Operasionalisasi dari definisi tersebut dalam konteks pemanfaatannya bagi perumusan kebijakan pembangunan adalah
§ Apapun
definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut tidak harus
eksklusif, tidak harus menjadi rujukan tunggal, dan tidak harus
menegaskan definisi lain yang kemungkinan akan timbul dan
dikonstruksikan oleh para akademisi, praktisi, atau institusi tertentu.
§ Definisi KLHS setidaknya perlu mengandung 4 komponen:
1. Diselenggarakan pada tahap awal perumusan kebijakan, rencana, dan program (KRP)
2. Menelaah dampak lingkungan dari KRP
3. Mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi
4. Mempertimbangkan aspek keberlanjutan
Tujuan KLHS
Tujuan KLHS pada umumnya mencakup hal-hal sebagai berikut (modifikasi terhadap UNEP 2002:496; Partidário 2007: 12):
1. Memberi
kontribusi terhadap proses pengambilan keputusan agar keputusan yang
diambil berorientasi pada keberlanjutan dan lingkungan hidup melalui
tahapan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi efek atau pengaruh lingkungan yang akan timbul
2. Mempertimbangkan
alternatif-alternatif yang ada, termasuk pilihan mengenai
praktek-praktek pengelolaan lingkungan hidup yang baik
3. Antisipasi dan pencegahan terhadap dampak lingkungan pada sumber persoalan
4. Peringatan dini atas dampak kumulatif dan resiko global yang akan muncul
5. Aplikasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
6. Hasil dari berbagai kontribusi KLHS tersebut adalah meningkatnya mutu kebijakan, rencana dan program (KRP) yang dihasilkan
2. Memperkuat dan memfasilitasi AMDAL, melalui:
0. Identifikasi sejak dini lingkup dan dampak potensial serta kebutuhan informasi
1. Identifikasi isu-isu dan pandangan-pandangan strategis yang berkaitan dengan justifikasi proyek atau rencana usaha/ kegiatan
2. Penghematan tenaga dan waktu yang dicurahkan untuk kajian
3. Mendorong pendekatan atau cara baru untuk pengambilan keputusan, melalui:
0. Integrasi pertimbangan lingkungan dan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses pengambilan keputusan
1. Dialog dan diskusi dengan para pihak yang berkepentingan dan penyelenggaraan konsultasi publik
2. Akuntabilitas dan transparansi dalam merancang, memformulasikan dan memutuskan kebijakan, rencana dan program
Manfaat KLHS
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari KLHS adalah (Fischer 1999; UNEP 2002):
1. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pengambilan keputusan
2. Mengidentifikasi
dan mempertimbangkan peluang- peluang baru melalui pengkajian secara
sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan yang tersedia
3. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi
4. Mencegah
kesalahan investasi dengan mengingatkan pengambil keputusan akan adanya
peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak tahap awal proses
pengambilan keputusan
5. Tata
pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya
keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan
keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi
6. Melindungi aset-aset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjamin berlangsungnya menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan
7. Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.
Adapun nilai-nilai yang dianggap penting dalam aplikasi KLHS di Indonesia adalah:
• Keterkaitan (interdependency)
• Keseimbangan (equilibrium)
• Keadilan (justice)
Keterkaitan (interdependencies)
digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar dalam
penyelenggaraan KLHS mempertimbangkan keterkaitan antara satu komponen
dengan komponen lain, antara satu unsur dengan unsur lain, atau antara
satu variabel biofisik dengan variabel biologi, atau keterkaitan antara
lokal dan global, keterkaitan antar sektor, antar daerah, dan
seterusnya. Dengan membangun pertautan tersebut maka KLHS dapat
diselenggarakan secara komprehensif atau holistik.
Keseimbangan (equilibrium)
digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar
penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai
keseimbangan seperti keseimbangan antara kepentingan sosial ekonomi
dengan kepentingan lingkungan hidup, keseimbangan antara kepentingan
jangka pendek dan jangka panjang, keseimbangan kepentingan pembangunan
pusat dan daerah, dan lain sebagainya. Implikasinya, forum-forum untuk
identifikasi dan pemetaan kedalaman kepentingan para pihak menjadi salah
satu proses dan metode yang penting digunakan dalam KLHS.
Keadilan (justice)
digunakan sebagai nilai penting dengan maksud agar melalui KLHS dapat
dihasilkan kebijakan, rencana dan program yang tidak mengakibatkan
marginalisasi sekelompok atau golongan masyarakat tertentu karena adanya
pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber- sumber alam atau modal
atau pengetahuan.
Dengan
mengaplikasikan nilai keterkaitan dalam KLHS diharapkan dapat
dihasilkan kebijakan, rencana atau program yang mempertimbangkan
keterkaitan antar sektor, wilayah, dan global-lokal. Pada aras yang
lebih mikro, yakni proses KLHS, keterkaitan juga mengandung makna
dihasilkannya KLHS yang bersifat holistik berkat adanya keterkaitan
analisis antar komponen fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi.
Peran KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang
KLHS
adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan,
dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan
keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana
dan program [KRP].
Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas. Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya. Selain itu KLHS menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”).
Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas. Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya. Selain itu KLHS menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”).
Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat
§ instrumental,
§ transformatif,dan
§ substantif
Tipologi
ini membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS
terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari
sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.
Pendekatan KLHS
Pendekatan
KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan
metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini
ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe).
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek
dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya
adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap
hirarhi KRP RTRW.
2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup (Environmental Appraisal)
: KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP
RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa
diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang
aspek lingkungan hidup.
3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated Assessment Sustainability Appraisal)
KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin
keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan
paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam
prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian
yang lebih luas yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi
dan lingkungan hidup secara terpadu.
4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam (Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable
Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan dengan fungsinya sebagai berikut:, a) dilaksanakan sebagai
bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan
lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model a) menekankan pertimbangan pertimbangan kondisi sumberdaya alam
sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model b)menekankan
penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan
cadangan sumberdaya alam.
KLHS dalam kategori ini memiliki dua model, yaitu:
1. Model a) menekankan pertimbangan pertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW
2. Model b) menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam
Aplikasi-aplikasi
pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk kombinasi, sesuai
dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, lingkup
isu mengenai sumberdaya alam
dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW
yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.
Tipe RTRW
|
Pengaruh KLHS
|
Tujuan KLHS dalam Penataan Ruang
|
RTRW berskala luas, memuat kebijakan dasar dan norma acuan bagi daerah (mis: RTRW Nasional atau Pulau)
|
Instrumental
|
Mengidentifikasi pengaruh atau konsekuensi dari Rencana Tata Ruang Wilayah terhadap lingkungan hidup sebagai upaya untuk mendukung proses pengambilan keputusan· Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam substansi Rencana Tata Ruang Wilayah.
|
RTRW
yang memuat substansi khusus wilayah tertentu, harus memadukan
kepentingan antar wilayah dan stakeholder, termasuk masyarakat (mis:
RTRW Propinsi atau Kawasan tertentusetingkat Nasional atau Propinsi)
|
Transformatif
|
(1)
Memperbaiki mutu dan proses formulasi substansi RTRW (2)
Memfasilitasi proses pengambilan keputusan dalam proses perencanaan
agar dapat menyeimbangkan tujuan lingkungan hidup, dengan tujuan
sosial dan ekonomi
|
RTRW
untuk cakupan luas terkecil, berisi arahan operasional atau
programatik yang sangat kental dengan kekhasan daerah tertentu dan
dipengaruhi oleh aspirasi masyarakat setempat. Misal RDTR
|
Substantif
|
(1)
Meminimasi potensi dampak penting negatif akibat usulan RTRW - jika
tingkat keberlanjutan substansi RTRW rendah (2) Melakukan
langkah-langkah perlindungan yang tangguh-jika tingkat keberlanjutan
substansi RTRW moderat (3)memelihara potensi sumber dayaalam dan daya dukungair, udara, tanah dan ekosistem
|
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DALAM UU No 26 Tahun 2007
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber dayamanusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber dayamanusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang
Pasal 5
(1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan.
(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional,
Pasal 17
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
Penjelasan Pasal 5 Ayat (5)
Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dandaya dukung lingkungan hidup, antara lain, adalah kawasan pelindungan dan pelestarian lingkungan hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai warisan dunia seperti Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Komodo.
0 komentar:
Posting Komentar